Dunia Nabi ~ Pemerintah China mengeluarkan aturan larangan menjalankan puasa bagi pegawai pemerintah dan guru termasuk juga anak-anak sekolah.
Menjalani hidup damai dan bebas menjalankan ajaran-ajaran Islam, nampaknya belum bisa sepenuhnya dirasakan oleh umat Muslim etnis Uighur di Propinsi Xinjiang, China. Hingga kini, perlakuan pemerintah Komunis China terhadap suku yang punya garis keturunan Turki ini masih menampakkan ketidak berpihakkan. Meski belakangan pemerintahan China berupaya “berdamai” dengan etnis Uighur.
Hal ini dirasakan oleh Imbalo Imam Sakti, pengurus Muhamadiyah batam, Kepulauan Riau saat mengunjungi daerah otonomi Xinjuang, Imbalo bersama beberapa orang datang dalam rangka program “Bekpeker Dakwah,” menjelang Ramadhan tahun lalu.
Program ini, kata Imbalo, dalam rangka menengok kondisi umat Islam yang minoritas dinegara-negara Asia. Selain Uighur, Imbalo juga pernah mengunjungi umat Islam di Vietnam, Burma, Thailand, Sri Langka dan lain-lain.
Menurut Imbalo, untuk menuju Xinjing, dari Batam ia naik pesawat menuju Kunming, Propinsi Yunnan, kota paling selatan di China. Dari Kunming, ia melanjutkan perjalanan selama 18 jam menuju Chengdu dengan biaya 260 yuan atau sekitar Rp. 520.000,-. “Ada yang menarik dari Muslim di Chengdu. Mereka sangat peduli dengan makanan halal, dan biasanya dijual di sekitar masjid.” ujar Imbalo.
Setelah istirahat beberapa hari, Imbalo dan rombongan melanjutkan perjalanan dengan kereta api. Perjalanan selama 48 jam ditempuh melalui jalur sutera yang terkenal sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Jalur ini pernah dilalui oleh sahabat Nabi Muhammad saw yaitu Saad bin Abi Waqash ketika diutus oleh Khalifah Usman bin Affan dalam menyebarkan agama Islam.
Selama di Xinjiang. Imbalo ditemani oleh Murad, pria dari etnis Uighur yang pernah studi di Malaysia. Pertemuan dengan Murad pun tak sengaja. Imbalo yang tengah duduk di tepi jalan Xinjiang, disapa Murad yan tengah melintas “Assalamu a’laikum,” kata Murad kepada Imbalo. Imbalo yang hanya bermodalkan kamus bahasa Mandarin ini sedikit gelagapan, mempersiapkan kamusnya untuk berdialog usai membalas salam “wa’alaikumussalam.”
“Yindhinixya (indonesia red)?” tanya Murad dalam bahasa Uighur, Murad kembali melanjutkan “Saya boleh sikit (bisa sedikit-red) bahasa Melayu. Apa yang bisa saya bantu, Pak Cik?’
Sontak saja, mendengar logat melayu dari Murad, Imbalo mengaku jadi tak perlu sibuk melihat kamus. Akhirnya bersama Murad, Imbalo dan rombongan menyusuri setiap sudut kota Urumqi. Propinsi Xinjiang.” Selalu ada ada saja saya mendapatkan orang yang bisa berbahasa Indonesia di negeri Muslim minoritas di Asia yang saya kunjungi,” kata Imbalo.
Murad yang berperawakan khas etnis Uighur, ia menyaksikan di beberapa daerah yang mempunyai ras Turki ini mengajak Imbalo menyusuri Urumqi. Ia menyaksikan di beberapa daerah yang menjadi perkampungan etnis Uighur terdapat beberapa barikade yang dijaga oleh tentara dan polisi.
Suasana mencekam masih terasa di negeri bekas Turkistan Timur ini. Suasananya seperti saat Aceh di jaman operasi militer atau di Pattani. Thailand Selatan. Itulah yang berlaku di Urumqi, tegas Imbalo.
Perasaan was-was juga masih tampak di wilayah beberapa warga etnis Uighur. Kata Imbalo, tak mudah mengorek banyak hal tentang etnis Uighur. Bahkan mengajak berfotopun tak mudah terutama laki-laki yang berjanggut. Di sini pria di bawah usia 45 tahun dilarang memelihara janggut, ujar Murad. Kalaupun ada, katanya itu biasanya orang-orang tua yang janggutnya sudah mulai memutih.
Pelarangan itu, kata Murad dilatar belakangi ideologi, pemerintah yang Komunis. Mereka itu Atheis, jadi tidak percaya pada hal yang menyangkut kepatuhan kepada Tuhan, timpal Imbalo.
Termasuk kebijakan dalam hal menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kata Imbalo pemerintah China menganggap puasa yang berarti tidak makan di waktu siang akan berpengaruh terhadap kinerja pekerja. Sehingga pemerintah China mengeluarkan aturan larangan menjalankan dan guru termasuk juga anak-anak sekolah.
Larangan yang dikeluarkan pada tahun 2014 lalu, tulis Al-Jazeera com, dimaksudkan untuk melindungi kesehatan para pekerja dan siswa. Lebih tegas lagi, kebijakan ini dimaksudkan untuk memastikan negara tidak mendukung keyakinan tertentu.
Menurut Imbalo, dalam sektor swasta masalah pelarangan puasa ini akan muncul pada pekerja Muslim yang memiliki atasan seorang non Muslim. Mereka juga akan dilarang untuk menjalankan ibadah puasa.
Hal ini juga disampaikan oleh Juru bicara Kongres Uighur Dunia. Dilxat Raxit. Pria yang berada di pengasingan ini mengatakan petugas pemerintah China memeriksa setiap rumah dan memaksa para penghuninya agar tidak menjalankan puasa Ramadhan.
China seharusnya dapat menjamin kebebasan setiap warganya yang beragam seperti warga Uighur dan Xinjiang, dan dapat menghentikan aksi penindasan seperti ini., kata Raxit.
Tidak itu saja, Ramadhan yang biasanya dimanfaatkan kaum Muslim Uighur untuk beraktivitas di masjid, seringkali diganggu oleh tentara China. Sikap sombong tentara ini sempat disaksikan sendiri oleh Imbalo. Katanya, hampir seluruh masjid yang ada Uighur mendapatkan pengawasan dari pihak aparat keamanan. Mereka juga kadang mengganggu kaum Muslimin yang berkumpul disekitar masjid.
Sikap para tentara itu keras, dengan menggunakan senjata mereka mengusir kaum Muslimin yang berkumpul dan berjualan disekitar masjid, ujarnya.
Bagi Imbalo yang sering ke daerah-daerah Muslim minoritas dan mengalami ketertindasan dengan sikap pemerintahannya, situasi itu tak membuatnya kaget. Puasa Ramadhan secara terang-terangan dilarang, mereka juga pernah melarang shalat Jum’at dan jilbab bagi kaum Muslimah.
Bagi masyarakat Muslim etnis Uighur, Ramadhan ditengah konflik yang tak menentu ini sedapat mungkin mereka melakukan persiapan. Salah satu persiapan yang dilakukan adalah ketersediaan makanan saat bulan Ramadhan. Padahal, daerah etnis Uighur merupakan tempat kebun-kebun paling subur di China. Ada kebun kurma, buah anggur dan zaitun.
Mereka mempersiapkan itu semua untuk persiapan selama bulan Ramadhan, termasuk juga ketersediaan kambing-kambing yang nanti menjadi sumber makanan, jelas Imbalo.
Protes Diam-Diam Etnis Uighur
Sungguh mengerikan klaim pemerintah China terhadap kaum Muslim Uighur, bagi pemerintah, setiap Muslim Uighur yang memiliki janggut dan Muslimah yang menggunakan jilbab adalah teroris.
Pemerintah China mengatakan setiap masyarakat Uighur jika memiliki janggut atau memakai jilbab, mereka teroris, kata Abdul Majid, yang memiliki toko ponsel di dekat Lapangan Rakyat.
Sikap pemerintah ini, seperti dikutip dari Al-Jazeera com, bermula dari peristiwa pengeboman gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 di Amerika. Bahkan setahun sebelum itu pemerintah China yang mengambil wilayah Uighur tahun 1949, melakukan eksodus puluhan juta suku Han ke wilayah Uighur yang kini masuk dalam propinsi Xinjiang. Etnis Han yang merupakan etnis mayoritas di China daratan itu menduduki populasi 40,58% di Xinjiang.
Pengekangan oleh pemerintah China, terutama saat bulan Ramadhan mendapat penentangan dari etnis Uighur di Kashgar, propinsi Xinjiang. Pada malam hari, beberapa perempuan muda berjilbab berkumpul dekat rumah sakit di Kashgar. Hal ini dilakukan untuk menyinggung pemerintah China yang melarang wanita berjilbab tak bisa masuk rumah sakit.
Seiring dengan itu, pegawai pemerintah dan anak-anak di bawah usia 18 tahun yang dilarang ke masjid, namun pada malam itu mereka memenuhi shalat Tarawih di salah satu masjid di Kashgar. Bahkan, tulis Al-Jazeera com para balita mereka berada di samping orang dewasa, sambil meniru gerakan shalat.
Tentu saja itu melanggar hukum untuk membawa anak-anak ke masjid, tapi kami tetap melakukannya, kata Ghulam Abbas seorang pria Uighur setengah baya yang berjualan ikan goreng di kota tua.
Demikian juga hal mengajarkan al-qur’an. Kata Ghulam selama berabad-abad para orang tua etnis Uighur mengirimkan anak-anak mereka ke majelis al-qur’an yang ada di masjid.
Di majelis itu anak-anak biasanya menghafal al-qur’an. Namun, kebiasaan itu kini dilarang di Xinjiang. Ujar Ghulam.
Menurutnya, pemerintah ingin menjauhkan anak-anak Muslim dari masjid dan tidak diperbolehkan untuk mengajarkan al-Qur’an. Meski begitu, Ghulam mengaku, orang tua etnis Uighur tetap mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak mereka di dalam rumah secara diam-diam.
Protes lainnya, dilakukan oleh para guru yang diharuskan mencegah muridnya untuk berpuasa. Namun, bagi Mehmet, seorang siswa SMA di Kashgar itu tergantung pada gurunya. Ada guru yang tidak melakukannya, tetapi ada juga yang sengaja membawakan air, roti, permen, lalu meletakkannya di depan para murid yang berpuasa itu.
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
0 Response to "Berpuasa Dan Mengajarkan Al-Qur’an Secara Diam-Diam"
Post a Comment