Dunia Nabi ~ Amanah besar baru saja dipikulkan di pundak Mualimin. Ia ditugaskan oleh pimpinan (alm) ustadz Abdullah Sa’id, untuk menyusul seniornya, yang telah beberapa lama tugas dakwah di Ambon. Ustadz kelahiran 48 tahun silam ini, menyambut penuh antusias amanah yang diberikan.
Namun ketika hendak melangkahkan kakinya ke medan juang, ada hal yang menggeluyuti pikirannya. “Bagaimana saya menemukan senior saya itu?” Maklum. Jangankan alamat, wajah orangnya pun ia tak kenal. Hanya mengantongi nama. Terlebih saat itu, belum ada ‘wabah’ hand phone seperti saat ini. Tak ayal kondisi itu memancingnya untuk menanyakan kepada pimpinan. “Mudah untuk menemukan aktivis Hidayatullah itu. Kalau dia laki-laki, lihat saja jidatnya. Kalau hitam, maka itu aktivis Hidayatullah. Kalau perempuan, maka lihat jilbabnya. Kalau besar, maka itu aktivis kita,” jawab sang pimpinan memberikan petunjuk.
Bermodal petunjuk itulah Mualimin akhirnya berangkat, dengan naik kapal laut. Sampai di dermaga, ia buka lebar-lebar. Mengamati jidat seseorang. Berkat pertolongan Allah semata, sosok yang dicari pun akhirnya ketemu.
Tidur di Emperan
Sesampainya di lokasi yang dituju, Mualimin mendapati belum ada lahan untuk digarap. Seniornya pun masih menumpang di rumah seorang warga bersama sang istri. Awalnya, putra pasangan Muhammad Amin dan Murni ini, juga sempat tinggal di sana. Namun, lambat laun, ia merasa kurang nyaman. Karena itu, ia lebih memilih untuk tidur di emperan toko toko yang jaraknya tidak jauh dengan lokasi rumah tumpangannya.
Bersama para pemulung ia tidur di sana. Para pemulung inilah yang menjadi ‘santri-santri’ pertama Mualimin. Ketika malam tiba, ia bersama para pemulung, sering mengadakan kumpul-kumpul. Tema pembicaraan beragam. Momen inilah acap digunakan oleh Mualimin untuk sedikit sedikit menyampaikan dakwah Islam dan mensosialisasikan amanahnya untuk membangun pesantren.
“Alhamdulillah, ada di antara mereka yang akhirnya tertarik untuk masuk barisan kita. Hingga saat ini beliau masih aktif di Hidayatullah,” ungkapnya. Nyaris setengah tahun lamanya suami Irawati Arisandi ini ‘bermukim’ di emperan toko. Hingga akhirnya ada seorang takmir masjid yang menawari untuk tinggal di sebuah ruangan masjid yang sejatinya difungsikan untuk gudang.
Tawaran itu datang, bermula dari kebiasaan Mualimin, ketika tidak kuat menahan suhu dingin udara malam di emperan toko, maka ia pindah ke emperan masjid. Hal ini menjadi perhatian si takmir, hingga akhirnya mencoba mengenalinya lebih dalam. Setelah mengetahui asal dan tujuannya, si takmir pun memberikan tawaran.
Berkah Ramadhan
Secercah harapan untuk mulai mengembangkan dakwah pun tiba, ketika memasuki bulan Ramadhan. Saat itu, di desa tetangga akan diselenggarakan peringatan Nuzulu al Qur’an. Entah mengapa, tiba-tiba si penceramah berhalangan hadir. Panitia pun sempat dibuat kalang-kabut dengan situasi ini. Si takmir masjid tempat Mualimin tinggal, menawarinya untuk menjadi penceramah pengganti. Mendapat tawaran demikian, alumni Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)Malili, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan ini,
bergegas menghubungi seniornya. Tak lama berselang, disepakati bahwa sang seniorlah yang akan mengisi ceramah peringatan nuzul Al-Qur’an itu.
Tak disangka, ceramah yang disampaikan oleh atasan Mualimin itu sangat mengesankan bagi masyarakat dan tokoh kampung tersebut. Tokoh kampung itu juga sangat merespon niat keduanya untuk mendirikan pesantren. Karena itu, keesokan harinya, ia mengajak keduanya ke lokasi tanah miliknya. Kepada Mualimin dan seniornya, tokoh itu berkata; “Sejauh mata memandang ini adalah lahan milik saya. Silahkan, kalian bilang, berapa hectare yang kalian butuhkan untuk pembangunan pesantren,” tuturnya.
Pada akhirnya, seluas dua puluh hetare tanah diwakafkan untuk dikelola menjadi pesantren. Setelah mendapatkan lahan, Mualimin dan seniornya langsung bertindak cepat. Sebuah gubuk kecil berbahankan kayu dan beratapkan dedawunan mereka dirikan untuk menjadi tempat tinggal.
Selain disibukkan membabat lahan yang masih dipenuhi semak belukar, dengan bermodalkan majalah Suara Hidayatullah, lulusan UNIYAP (Universitas Yapis) Jayapura ini, bergerilya menggalakkan silaturrahim ke berbagai tokoh dan instansi untuk mencari dana pembangunan pesantren. “Bantuan pertama berupa tiga bangunan semi permanen Alhamdulillah kita dapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),” ungkap Mualimin.
Setahun menjalankan amanah dakwah merintis di Ambon, pada awal tahun 1993, Mualimin ditugaskan untuk berdakwah di Papua. Berbagai daerah di provinsi paling Timur Indonesia ini telah dijelajahinya, mulai dari Jayapura, Marauke, Nabire hingga Wamena. Di di lokasi yang disebut terakhir ini, lakilaki penghobi membaca ini mengaku, menjadi tempat berjuang paling berkesan selama di Papua.
Selain harus berpisah dari keluarga yang saat itu tidak memungkinkan dibawa, suhu udara yang dingin juga menjadi tantangan dakwahnya. Sampai saat ini, Mualimin terus istikomah menyebarkan dakwah di bumi cendrawasih. Mengenai rahasianya terus bertahan menyiarkan Islam di kawasan yang juga dikenal dengan nyamuk malarianya ini, Mualimin membukanya; “Hanya ingin menyebarkan rahmat Allah. Dan ini adalah pesan yang terkandung pada kalimat salam yang menjadi penutup sholat. Jadi kita harus memiliki kepedulian dengan saudara-saudara kita sesama muslim,” pungkasnya.*Robinsah/Mulia
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
0 Response to "Terjun Dakwah Bermodal Petunjuk Jidat Hitam"
Post a Comment