Dunia Nabi ~ Puluhan undangan telah hadir, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, mereka akan mengikuti launching program ”Baca al-Qur’an dengan Cepat” di pondok pesantren Hidayatullah rintisan pertama, Marauke, Papua.
Sebagai kepala Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) telah di daulat ustadz Sultan, sebagai narasumber, saat itu (tahun 1991) ia masih remaja baru setahun lulus Sekolah Menengah Atas (SMA/ Sederajat).
Bagi Sultan kesempatan itu menjadi tantangan, maklum. Sebelumnya ia tidak pernah bicara di depan publik. Momentum itu akan menjadi sejarah untuk pertama kalinya ceramah di depan khalayak.
Dari jauh hari kelahiran 48 tahun silam ini, telah mempersiapkan diri, namun apa mau dikata. Rasa dag-...dig...dug.... masih belum bisa disingkirkan. Dadanya bergemuruh, keadaan semakin tak terkendali, ketika telah berdiri di podium.
Ditatapnya wajah para hadirin, selang beberapa menit berbicara, ia rasakan pandangannya gelap. Semakin lama, semakin pekat dan lama kelamaan akhirnya guldakk.
Guldakkk......! Tubuh Sultan akhirnya terjatuh ke lantai, pingsan. Ketika siyuman, ia minta maaf kepada atasannya. “Saya sedang tidak enak badan, ustadz” kilahnya.
Tapi ternyata sang ustadz menangkap apa yang terjadi sebenarnya, sehingga ia justru memberikan tantangan yang lebih dahsyat.
“Kamu itu tidak lagi sakit, Tapi grogi, Jum’at depan, kamu siapkan diri untuk menjadi khatib. Jum’at perintah sang ustadz.
“Ingat,” lanjutnya lagi. Bagaimana pun masyarakat mengenal kita sebagai ustadz, bukan santri, kamu harus belajar, berdo’a, kuatkan ibadah, sholat dan lainnya., pesan ustadz.
Sejak hari itu, Sultan pun terus ancang kuda-kuda. Ia giat belajar dan berlatih khuthbah, dihafalkannya ayat-ayat tafsir untuk menggali makna ayat yang lebih mendalam.
Berkat kegigihan dan do’a, misi khuthbah perdana pun menjadi sukses dilaksanakan, sejak itulah, suami Eva Baryanti ini mulai banyak mengisi pengajian dan khuthbah. Tidak hanya masjid kampung, bahkan merambah di perkotaan. Masjid raya kota Marauke pun dilakukan untuk membawakan khuthbah.
Peristiwa itu (pingsan) benar-benar sangat berkesan, bimbingan para senior sangat berperan penting, untuk saat ini, sudah bisalah disebut mubaligh, kelaknya sambil terkekeh kecil.
Harapan Yang Bersambut
Menjadi dai profesional, itulah opsesi Sultan. Bertepatan saat itu ia tengah akan lulus jenjang SMA/sederajat, laksana kata pepatah pucuk dicinta ulampun tiba. Satu hari, Sultan membaca majalah Suara Hidayatullah. Di salah satu rubrik memuat profil Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan.
Ia pun kepincut, apalagi ada iming-iming gratis, dengan penuh semangat alumni SMA Irnas Makassar ini, berangkat mengejar mimpi. Namun sesampainya di tempat tujuan, dan mendekam beberapa lama di sana. Bukannya betah, malah Sultan beberapa kali ingin kabur.
Selama di pondok Pesantren nyaris tidak pernah belajar. Kerjanya nyangkul setiap hari, setelah 40 hari ia pindah tugas. Memberi makan ikan, itu saja kerjaannya, kisahnya.
Itulah yang membuatnya tidak betah di Pasentren ibaratnya, jauh cita dari realita inginnya belajar ilmu-ilmu agama, malah ini disuruh banyak kerja.
Untungnya, setiap kali hendak melakukan aksi ‘balik kanan’ ia terus diingatkan dan dinasehati oleh seorang ustadz yang akrab dengannya.
Bersabarlah lalukan saja apa yang diperintahkan Insya Allah, nanti Allah sendiri yang akan membimbing kamu, ujar ustadz itu mencoba meluluhkan hati Sultan.
Akhirnya sosok asal Makassar itu pun tunduk. Lambat-layun ia mulai menikmati dan bahkan merasakan ketenangan. Nasehat-nasehat (alm) Abdullah Sa’id pendiri Hidayatullah, acap menjadi penenang jiwa dan pencerah akal pikirannya.
“Allahu yarham ustadz Abdullah Sa’id, sering mengingatkan jama’ah untuk terus semangat menjalankan misi dakwah, karena ini adalah risalah Rasul Yang dijamin kemuliaan bagi siapa saja yang menitinya,” ujarnya mengenang.
Hal lain yang mengkokohkannya, ketika datang para dai dari daerah ke kampus, dan mengisahkan lika-liku perjalanan dakwah mereka di tempat masing-masing.
“Kalau mendengar mereka berkisah, rasanya ingin sekali berdakwah di daerah,” ungkap Sultan.
Kesempatan itu pun datang, ketika pada tahun 1991, ada penugasan kader besar-besaran. Anak ketiga dari delapan bersaudara ini mendapat amanah tugas di merauke Papua.
Dua Senjata
Tugas dakwah di daerah paling Timur Indonesia itu, punya tandangan tersendiri, itu kesan Sultan, selain alam, sosial kultural di masyarakat pun menjadi tantangan tersendiri. Apalagi saat itu, minim sekali dai yang menjambah bumi cenderawasih itu.
Pada awal kedatangannya, bukan sekedar cemooh yang diterima dan oknum-oknum masyarakat, tapi juga hardikan dan makian, itu didapat dari mereka yang suka mabuk-mabukkan. Para pemabuk dulunya teriak-teriak di depan rumah, kita biarin saja, selama tidak membahayakan diri, ujar bapak tujuh anak ini.
Meski mendapat tantangan demikian, Sultan mengaku tidak pernah berpikir untuk undur diri. Yang ada dibenaknya adalah tekad untuk menjalankan amanah dakwah sebaik mungkin.
Guna memuluskan misinya, silaturrahim ke masyarakat terus ia galakkan, mulai dari masyarakat biasa, sampai para tokoh. Akhirnya terbangunlah kepercayaan diri di masyarakat, mereka menangkap misi baik di balik kehadirannya di tengah-tengah mereka.
“Bantuan dari masyarakat pun akhirnya banyak berdatangan, anak-anak mereka mulai dimasukkan ke Pesantren,” kisah Sultan.
Selain silaturrahim, do’a para guru dan jama’ah, diyakini oleh sosok murah senyum ini sebagai wasilah kemudahannya dalam mengemban misi dakwah.
Pernah ada satu kejadian, kisahnya ia hampir merenggang nyawa, karena diserbu oleh penduduk satu kampung. Penyebabnya saat mengendarai motor di tengah malam, tanpa sengaja, ia menabrak seorang warga. Padahal korban tidak luka parah.
Menghindari hal tak diinginkan, ia lari ke tengah hutan. Mulutnya tak berhenti berdo’a, di lain pihak, masyarakat bersenjata tajam seperti panah dan parang berduyun mengejarnya, alhamdulillah akhirnya alumni STAI al-Mahdi, Fak-Fak itu selamat dengan dibantu oleh anggota militer kenalannya, persoalan itu diselesaikan secara kekeluargaan.
Selain Merauke, Sultan telah menjelajahi beberapa daerah di Papua, untuk berdakwah, mulai dari Timika, Sorong sampai ke Papua Barat.
“Pesan saya khususnya kepada para dai muda, teruskanlah semangat berdakwah. Kemampuan ilmu kalian lebih memumpuni dari kami dahulu, tinggal tingkatkan ibadah, dan jangan lupa, terus meminta do’a dari para jema’ah.” Pesan wakil ketua MUI Papua Barat ini.....
Perjalanan Syahadat
“Mereka yang sudah lulus dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, dalam perjalanan syahadatnya akan selalu tampil dengan kepeloporannya, selalu ada pada barisan terdepan, bukan menjadi umat buntut yang terus saja mengekor pada kemajuan orang lain.”
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
loading...
0 Response to "Ustadz Sultan, Pertama Ceramah Pingsan, Kini Jadi Dai Handal"
Post a Comment