Dunia Nabi ~ Saya ingin merasakan merintis Pesantren. Itulah salah satu angan-angan yang bercokol dibenak Ustadz Saharuddin. Saat itu ia tengah berstatus sebagai mahasiswa STAI Luqman al-Hakim, ia terpesona dengan cerita para dai, yang diterjunkan bebas tanpa bekal.
Kegemarannya membaca rubrik Serial Dai. Majalah Suara Hidayatullah, yang mengupas kisah perjalanan para dai dalam menyebarkan Islam di daerah binaan, semakin memancing hasratnya untuk bersegera menyusul mereka. Betapa tidak perjalanan mereka penuh dengan liku-liku dan syarat dengan nilai-nilai spritual.
Laksana kata pepatah, Pucuk di cinta ulam pun tiba. Ketika selesai menuntaskan studinya tahun 2011, ia mendapat amanah untuk merintis dakwah di pulau Longos, Kampung Baru, desa Nanga, Macang Pacar, Manggarai Barat.
Sebuah lokasi yang masih penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon besar. Tak hanya itu, juga jauh dari pemukiman penduduk, yang berjarak kurang lebih seratus meter. Yang membuat tempat ini semakin menantang juga belum tersedia arus listrik (PLN).
Laki-laki asal dari pulau garam, Madura itu sendiri mengaku, tak mengira sama sekali kalau lokasi tempat tugasnya cukup terpencil. Awal tiba dia sempat bengong, pikir saya listriknya sudah ada dan dekat di permukiman penduduk, seperti di pulau tempat tinggal saya di Madura, jelasnya.
Guncangan Dahsyat
Meski sempat kaget dengan kondisi lapangan, Sahar enggan balik kanan, karena tidak ada tempat tinggal, ia bersama salah seorang temannya menumpang di salah satu rumah warga sebagai langkah awal gerakkan, ia galakkan silaturahim ke rumah-rumah warga.
Semua rumah warga sudah dimasuki, jadi cukup akrab hubungan, ujarnya. Target utama diutusnya sosok yang akrab dengan kacamata ini mendirikan sekolah tingkat Aliyah. Pasalnya di sana belum ada sekolah satupun. Sehingga masyarakat sangat berharap bisa diberi solusi. Sepetak tanah diwakafkan untuk mengusung misi itu.
Jadi kalau anak-anak setempat ingin melanjutkan studi, itu jauh dari desa mereka, jelas Sahar. Karena target itulah, ia bersama temannya dan dibantu oleh pengurus Wilayah Hidayatullah setempat, berjibaku untuk mencari dana. Syukurnya keduanya cukup kompak dalam bekerja sama, termasuk dengan salah seorang tenaga baru yang diutus oleh atasannya untuk membantunya.
Di saat bertiga sama-sama bahu-membahu menyisingsingkan lengan baju, datang berita, bahwa kedua teman Sahar ditarik dari tempat tugas, karena masa penugasan sudah habis.
Waktu itu saya down langsung, karena merasa sendirian. Tidak ada kawan di kain sisi, beban terasa begitu berat. Belum ada perubahan fisik apapun dari lokasi yang ingin di bangun sekolah. Paparnya.
Tapi dalam kondisi itulah, akuinya ia justru semakin mendekatkan diri kepada Allah, Ibadah, khususnya sholat malam terasa semakin khusyu.
Inilah yang dirasa oleh Sahar menjadi terapi kegundahan hatinya, sehingga terus istikomah untuk menempuh jalan dakwah.
Selama itu sambungnya, mengingat akan besarnya nilai perjuangan dalam berdakwah, sehingga menjadi spirit tersendiri untuk terus menapaki jalan yang ditempuh oleh para Nabi, Rasul dan orang-orang sholih ini.
Saat itu, saya punya dua buku sirah, Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Keduanya sering saya baca untuk menguatkan tekat, urai suami Mila Susilawati ini.
Di tahun 2014, menjelang pembukaan tahun ajaran baru. Saharuddin mendapat guncangan yang lebih dahsyat. Betapa tidak masyarakat yang mulanya menaruh kepercayaan kepadanya, kini mulai pesimis, sebab belum ada perubahan apapun dari segi fisik pembanguan sekolah.
Banyak masyarakat yang mempertanyakan kelanjutan sekolah. Saya sendiri bingung untuk menjelaskannya, paparnya. Karena seakan-akan tidak menemukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi itu, hingga dalam suatu munajatnya kepada Allah, ayah dari Syamil ini pun berdo’a.
“Ya Allah, sekiranya pesantren yang akan dirintis ini tidak bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat, maka gagalkanlah perintisan ini,” rintihnya saat itu.
Bangunan Darurat
Selang beberapa lama, ada bantuan dana yang masuk ke kantong ustadz Saharuddin. Tapi dana tersebut untuk langsung mendirikan bangunan permanen, sangat belum memungkinkan. Dana tidak mencukupi akhirnya diberdirikanlah bangunan lokal sesuai dengan kemampuan dana.
Bangunan itu didominasi oleh kayu, sedangkan bagian atap dan penutup sekitarnya (dinding) menggunakan seng. Itupun hanya separuh, bagian bawah. Atasnya di biarkan terbuka, lantainya masih beralaskan tanah.
Dalam proses pendirian lokal, masyarakat dengan lapang dada membantu, mereka sendiri membantu tebang kayu untuk dijadikan kusen-kusen, rangka atap dan penyanggah dinding, ungkap pengidola Umar bin Khathab ini.
Ternyata. Sukses mendirikan lokal, bukan berarti persoalan selesai. Tiba di hari pendaftaran, tak kunjung ada siswa yang mendaftar. Penasaran, putra pasangan Sarkawi (alm) dan Hawiyah ini mencoba untuk menyelidiki, tahulah ia bahwa penyebabnya ada pada bangunan tidak layak untuk dijadikan sekolah.
Di benak masyarakat, ungkap Sahar, sekolah yang dirintisnya itu langsung megah, berdindingkan batu-bata dan berlantaikan keramik seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Karena yang dilihat jauh dari harapan, akhirnya mereka enggan.
Melihat bangunan itu, mereka yang semulanya sudah mendaftar pun, beberapa undur diri, dan memilih melanjutkan pendidikan mereka di sekolah di pulau seberang. Jelasnya.
Meski demikian pelik masalah yang dihadapi, penghobi buku sirah ini tak patah semangat. Ia terus berupaya untuk mensosialisasikan sekolah kepada masyarakat. Maka terjaringlah sembilan murid untuk angkatan pertama.
Lambat laun kepercayaan masyarakat semakin tinggi. Untuk bangunan sedikit demi sedikit sudah mengalami renovasi, sebanyak tiga angkatan telah lulus. Saat ini muridnya mencapai 80-an siswa-siswi, sayangnya hanya segelintir anak yang bisa diasramakan. Pasalnya belum ada bangunan yang bisa di tempati sebagai asrama.
Padahal para wali murid sangat berharap agar putra-putri mereka bisa mondok di asrama. Mereka sangat khawatir dengan pergaulan di masyarakat yang semakin tak terkontrol.
Semoga ada muhsinin yang bisa membantu mewujudkan, urai sosok yang saat ini mengemban amanah di Depertemen Pendidikan dan Pengkaderan, Pengurus Wilayah Hidayatullah Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
loading...
0 Response to "Ustadz Saharuddin, Ketika Mimpi Merintis Pesantren Sahar Terwujud"
Post a Comment