Subiah, Hafidzah Rohingya Yang Terdampar Di Aceh ~ Pakaiannya serba hitam dan cadar menutupi wajahnya. Dari tatapan matanya, tampak kelembutan hatinya, walaupun demikian, terlihat roman ketakutan yang berusaha ia tutupi. Dari cara berbicaranya yang santun dan pelan menandakan bahwa ia seorang Muslimah yang memiliki akhlaq yang baik dan menawan.
Dialah Subiah Al-Hafizhah, Muslimah Rohingya yang hafal Al-Qur'an, yang ikut terombang-ambing di lautan lepas, demi menyelamatkan harga dirinya dari renggutan kekejaman di negaranya. Subiah, merupakan satu di antara ratusan pengungsi Rohingya yang ditempatkan di TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Kuala Cangkoy Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nagroe Aceh Darussalam. Menariknya, Subiah ini merupakan seorang yang hafal 30 juz Al-Qur'an.
Pembicaraan kami dengan Subiah siang itu, diterjemahkan oleh Muhammad Husein, pengungsi Rohingya yang hampir fasih berbicara bahasa melayu, karena sebagian besar dari para pengungsi tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Menurut pengakuan Muhammad Husein, Ia mahir berbahasa melayu karena memang pernah menetap lama di Malaysia pada saat ia bekerja di sana sebagai kuli bangunan. Melalui Muhammad Husein inilah penulis mampu menangkap informasi-informasi penting yang tersimpan dalam benak Subiah dengan keadaan dan kondisi yang tengah terjadi di Rohingya.
Kekejaman Di Myanmar
Percakapan Penulis dengan Subiah diawali dengan tangisannya yang menyayat hati. Subiah mengungkapkan, bahwa ia tidak ingin kembali ke Rohingya, kekejaman umat Buddha sebagai agama mayoritas di Myunmar, atau sekitar 90% dari penduduknya telah menghancurkan masa depan Subiah dan keluarganya.
Kaum kerabat Subiah banyak yang menjadi korban. Ia mengisahkan bagaimana kejamnya perlakuan kejahatan mereka terhadap kaum Muslimin. Tiap hari korban berjatuhan, anak-anak, wanita dan pria. Banyak anak-anak yang menjadi korban di depan mata ayah ibunya. Begitu juga sebaliknya, banyak orang tua yang dibantai secara biadab di depan anak-anak mereka.
Subiah megisahkan, bagaimana ia belajar dan menghafal Al-Qur'an dalam keadaan sembunyi-sembunyi, penuh ketakutan, kekhawatiran. Subiah mampu menghafal Al-Qur'an dalam jangka waktu 3 tahun. Hafal 30 juz pada saat ia berumur 12 tahun, ia belajar Al-Qur'an melelui bimbingan Ustadz Al-Hafizh Muhammad Yunus. Para pengungsi Rohingya biasa memanggil Ustadz Al-Hafizh Muhammad Yunus dengan panggilan Imam, sebagai orang yang ditokohkan dalam urusan agama.
Ketika Penulis memintanya untuk membacakan salah satu ayat yang ia hafal, ia enggan bahkan terlihat menangis sesunggukkan. Ketika penulis tanyakan penyebabnya, Muhammad Husein, penerjemah kami mengatakan bahwa Subiah seringkali trauma ketakutan. Ia teringat pada saat menghafal Al-Qur'an itulah umat Buddha menyerang dan membasmi keluarga Muslimnya di sana. Banyak teman-teman Subiah yang menjadi penghafal Al-Qur'an telah menjadi korban keganasan yang didukung oleh pemerintah Myanmar.
Aktivitas ibadah Muslim Rohingya sangat dibatasi. Fasilitas ibadah sangat minim. Begitu pula fasilitas pendidikan. Perlakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Muslim tidak sama dengan perlakuan mereka terhadap kaum Nasrani. Kaum Kristen walaupun minoritas, mereka masih tetap mendapatkan fasilitas ibadah dan pendidikan. Kini, Subiah telah berumur 17 tahun dan memiliki seorang suami. Ia menikah pada tahun 2013 silam pada umur 15 tahun, Suaminya kini bekerja dan menetap di Malaysia, ia berharap dapat bertemu kembali dengan suaminya. Subiah berpesan yang ditujukan kepada dunia, ia berharap dunia dapat melihat keadaan mereka di Rohingya.
“Jangan bedakan kami dengan yang lain, apakah hanya karena kami seorang Muslim lantas ditindas dan harga diri kami diinjak dengan semena-mena. Kami juga manusia yang ingin hidup di muka bumi ini, hormatilah kami dan keyakinan kami,” ujarnya. Subiah juga bersyukur dan berterima kasih atas bantuan rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh yang telah digerakkan oleh Allah untuk membantu dan menempatkan mereka di sini.
“Kami mohon dengan amat sangat kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak memulangkan kami ke Rohingya, sayangilah dan cintalah kami sebagai saudara kalian sesama Muslim.” ujarnya.
Oleh Eep Khunaefi
Kaum kerabat Subiah banyak yang menjadi korban. Ia mengisahkan bagaimana kejamnya perlakuan kejahatan mereka terhadap kaum Muslimin. Tiap hari korban berjatuhan, anak-anak, wanita dan pria. Banyak anak-anak yang menjadi korban di depan mata ayah ibunya. Begitu juga sebaliknya, banyak orang tua yang dibantai secara biadab di depan anak-anak mereka.
Subiah megisahkan, bagaimana ia belajar dan menghafal Al-Qur'an dalam keadaan sembunyi-sembunyi, penuh ketakutan, kekhawatiran. Subiah mampu menghafal Al-Qur'an dalam jangka waktu 3 tahun. Hafal 30 juz pada saat ia berumur 12 tahun, ia belajar Al-Qur'an melelui bimbingan Ustadz Al-Hafizh Muhammad Yunus. Para pengungsi Rohingya biasa memanggil Ustadz Al-Hafizh Muhammad Yunus dengan panggilan Imam, sebagai orang yang ditokohkan dalam urusan agama.
Ketika Penulis memintanya untuk membacakan salah satu ayat yang ia hafal, ia enggan bahkan terlihat menangis sesunggukkan. Ketika penulis tanyakan penyebabnya, Muhammad Husein, penerjemah kami mengatakan bahwa Subiah seringkali trauma ketakutan. Ia teringat pada saat menghafal Al-Qur'an itulah umat Buddha menyerang dan membasmi keluarga Muslimnya di sana. Banyak teman-teman Subiah yang menjadi penghafal Al-Qur'an telah menjadi korban keganasan yang didukung oleh pemerintah Myanmar.
Aktivitas ibadah Muslim Rohingya sangat dibatasi. Fasilitas ibadah sangat minim. Begitu pula fasilitas pendidikan. Perlakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Muslim tidak sama dengan perlakuan mereka terhadap kaum Nasrani. Kaum Kristen walaupun minoritas, mereka masih tetap mendapatkan fasilitas ibadah dan pendidikan. Kini, Subiah telah berumur 17 tahun dan memiliki seorang suami. Ia menikah pada tahun 2013 silam pada umur 15 tahun, Suaminya kini bekerja dan menetap di Malaysia, ia berharap dapat bertemu kembali dengan suaminya. Subiah berpesan yang ditujukan kepada dunia, ia berharap dunia dapat melihat keadaan mereka di Rohingya.
“Jangan bedakan kami dengan yang lain, apakah hanya karena kami seorang Muslim lantas ditindas dan harga diri kami diinjak dengan semena-mena. Kami juga manusia yang ingin hidup di muka bumi ini, hormatilah kami dan keyakinan kami,” ujarnya. Subiah juga bersyukur dan berterima kasih atas bantuan rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh yang telah digerakkan oleh Allah untuk membantu dan menempatkan mereka di sini.
“Kami mohon dengan amat sangat kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak memulangkan kami ke Rohingya, sayangilah dan cintalah kami sebagai saudara kalian sesama Muslim.” ujarnya.
Oleh Eep Khunaefi
loading...
0 Response to "Subiah, Hafidzah Rohingya Yang Terdampar Di Aceh"
Post a Comment