Cerpen Inspiratif Anak-Anak dan Orang Tua ~ Ketika Marno kuambil anak, istriku sendiri sedang mengandung lima bulan. Akulah yang membawa Marno begitu saja, tanpa berbicara terlebih dahulu padanya, tiba-tiba datang membopong bayi yang menangis tanpa henti-hentinya.
Masih terbayang olehku, waktu Marno yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu kuserahkan ke tangan istriku, yang kemudian menimang-nimang hingga reda tangisnya lalu tidur di pangkuannya.
"Ini anak Ali, Sri, pelukis yang pernah datang kemari malam-malam dahulu. Ali yang sakit TBC itu kau ingat, kan ?
Istriku mengangguk. Kemudian malah menerangkan, "Bukankah yang dulu kau anjurkan menitipkan saja bayi ini ke tempat lain agar tidak ketularan?"
"Ya, tapi Ali cinta benar pada anak ini. Dibawanya ke mana saja dia pergi melukis sekalipun. Kasihan, anak ini."
"Ibunya dimana?"
"Entah, Ali pun tak pernah mengatakan, siapa ibu Marno. Hanya yang kuketahui sebagai rahasia antar kawan. Ibu anak ini seorang nyonya yang pernah dilukis Ali."
Istriku kaget. Terbaca di mukanya kegelisahan, tapi yang dicoba menyamarinya, seperti kena selidik dari pandangku yang menumpahinya.
"Engkau tidak suka, Sri?" suaraku seperti menghadapinya tepat-tepat.
Ia tunduk semakin kacau.
"Sri, bagaimanapun juga, anak ini adalah seorang anak juga.
Istriku tiba-tiba kaget, bangkit. Disodorkannya Marno ke tanganku kembali lalu bergegas ke bilik meninggalkan aku.
Buru-buru ia kuikuti dengan Marno ku bopong.
"Tapi kita orang baik-baik," menguap-uap kata Sri di antara tangisnya, "Kita manusia yang tidak mau keliru dan buruk." Kubawa Marno keluar dari bilik. Kupangku dia tenang-tenang dalam tidurnya yang tadi telah kecapekan menangis. Penyesalanku satu-satunya hanyalah kata-kataku yang berlebihan terhadap istriku tadi itu, tapi tidak terhadap bayi ini. Anak ini bagiku takkan memberatkan jika kubantu hidupnya, lebih-lebih bila kuingat anakku sendiri yang bakal lahir dari kandungan istriku. Dan bila kutatap wajah Marno yang putih dan bersih, kurasakan juga warna asal suci itu, warna asal yang membayang di wajah kanak-kanak, dan manusia, saat-saat dia menyadari perhubungan silsilah sesamanya.
Malam ini Marno kubopong saja. Kapan menangis kucoba melerainya sedapat mungkin. Di rumah belum ada mainan, karena anakku belum lahir, maka kucarikan apa saja yang dapat menawan hatinya. Aku cium Marno, aku tidurkan di kursi panjang dan kutunggui di sampingnya. Dengan tangannya ia menarik-narik bajuku. Seolah menarik-narik badanku supaya tidur didampingi orang tuanya.
"Kurangkul kau Marno ya, dinginkah engkau?"
Bayi itu kemudian mengesot, bangun dan menaiki tubuhku yang telentang di kursi panjang itu. Dengan berseri-seri ia menyentak-nyentak kakinya dan sambil tertawa-tawa dirabainya daguku. Mendadak aku tahu, Marno tentu suka berlaku demikian oleh karena dulu janggut Ali dibiarkan tumbuh.
Lewat tegah malam, tak kusangka istriku datang mendekati kami yang masih asyik bermain. Kulihat muka Sri bening, sejernih malam itu, dan halus sebagai biasanya istriku itu.
"Engkau tidurlah, pikirkan esok hari, "katanya sambil mengangkat Marno ke pangkuannya. Kupandangi Sri tenang-tenang, seperti aku sebagai suaminya biasa memandanginya. Lalu kutinggalkan mereka berdua dengan sikap yang mengerti.
Tapi dalam bilik, setelah badanku kurebahkan, terasa pula penyesalan lain. Bahwa Sri kuberi kerepotan sepanjang hari-harinya yang akan datang, justru ia sedang mengandung. Tapi sekali akan kukatakan juga padanya, kesukaran-kesukaran inilah yang mengucap sebagai panggilan, dimana kepercayaan akan kita letakkan kepada kehidupan.
Pagi ketika aku bangun kulihat istriku dan Marno tidur di sampingku. Kapan mereka masuk bilik, tak tahu aku. Marno nampak pulas di tengah, terapit-apit oleh badanku dan Sri, seperti satu keluarga yang kami cita-citakan beberapa bulan lagi apabila Sri sudah melahirkan bayi kami.
Sri juga masih tidur. Hati-hati agar Sri tidak terbangun aku keluar, mandi dan mempersiapkan sendiri pergi bekerja. Dia sengaja tak kubangunkan, Kukira sampai menjelang dini hari ia sudah menemani Marno.
Di kantor pikiranku sepanjang hari hanya tertuju pada Sri dan Marno di rumah, suatu segi sifat kebapakan yang baru kurasakan sejak itu. Keinginan-keinginan yang pernah timbul pada kala aku memikirkan anakku sendiri bakal lahir, terbit mendesak dan kuterapkan sekarang pada Marno tanpa berusaha merasai perbedaannya. Aku terima Marno dengan tulus sebagai anakku.
Pulang ke rumah, Marno kubawakan bola mainan. Bayi yang sudah agak pandai merangkak itu semakin cepat geraknya mengikuti bola yang bergulir kian kemari.
"Tak seberapa tangisnya, anak ini," kata Sri lega. "Tapi aku tak dapat membopongnya lama-lama."
"Memang yang seperlunya saja, Sri. Tak lama lagi pasti ia sudah pandai jalan sendiri. Lihat saja kakinya ini, kukuh seperti pemain bola."
Badan Marno memang tidak gemuk, tapi aku harap kelak apabila besar dia tak punya muka yang cekung dan dada yang tipis seperti Ali.
Seharian itu aku dan Sri berusaha lebih membiasakan diri mengasuh Marno. Pikiran yang kubanyang-bayangkan bila anakku lahir seperti tiba-tiba datang dengan segala kerepotan dan kesibukannya, tapi juga kegembiraan yang tiba bagaikan anugerah. Begitu pun hari-hari yang mendatang seperti terisi oleh pikiran-pikiran terhadap anakku, Marno, seperti juga terhadap istriku Sri yang sedang mengandung.
Kehidupan kami sehari-hari mulai biasa dan tenang. Bila aku pergi kerja, Sri lah yang di rumah dan menjaga Marno yang semakin keras gerak dan tenaganya. Kalau aku kebetulan di rumah kami bergantian menemani Marno, atau kami bahkan saling berebut hendak memain-mainkannya.
Sumber : Cerita Pendek Indonesia II, Satyagraha Hoerip
loading...
0 Response to "Cerpen Inspiratif Anak-Anak dan Orang Tua"
Post a Comment