Dunia Nabi ~ Anda seorang pedagang kecil, tapi bermimpi tinggal di sebuah rumah yang megah. Caranya mudah, Sedekahlah yang ikhlas, insya Allah keinginan Anda akan tercapai. Setidaknya hal ini yang menimpa penjual Warung Tegal (Warteg) berikut ini.
Mari kita panggil mereka, Pak Waluyo dan ibu Maskuroh. Sehari-hari, mereka berjualan nasi di pinggir jalan yang dikenal dengan Warteg (Warung Tegal). Sesuai namanya, menu yang tersaji di dalam kedai makan ini sangat kental dengan aroma “Jawa”, gurih, manis dan lezat. Satu lagi, murah meriah.
Awalnya, usaha yang dijalani mereka tidaklah begitu lancar. Tetapi, memasuki pertengahan tahun, usahanya meningkat. Mungkin karena sudah banyak yang kenal dan tahu. Meski begitu, hasil jualannya tetap saja tidak terlalu besar, hanya sekedar bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, sewa kontrakan dan tabungan ala kadarnya.
Sebagai manusia, hal yang wajar jika Pak Waluyo dan Ibu Maskuroh ingin meningkatkan hasil usahanya. Setidaknya, kelak, ia bisa membeli rumah dan kendaraan, tidak lagi ngontrak. Tetapi dari mana jalannya ?
Pak Waluyo dan Ibu Maskuroh terus memikirkannya, meski begitu, mereka tidak mau terlalu ngoyo. Artinya, keduanya tetap menjalani usahanya itu mengalir seperti air saja. Malam belanja, pagi memasak dan agak siang baru bisa menjual. Begitulah yang dilakukan setiap hari. Mereka tidak perlu pasang iklan di sana-sini dan mempromosikan menu dagangannya yang enak dan murah.
Suatu ketika, mereka melihat rumah megah di dekat wartegnya. Tiba-tiba saja hal ini membuat Pak Waluyo tergerak ingin membelinya. Tapi, lagi-lagi, dari mana jalannya? Tabungan saja tidak punya. Apalagi, rumah itu dijual harus cash (kontan), tidak boleh kredit. Maka yang dilakukan keduanya pun hanya bisa berdoa dan berdoa.
Di tengah rasa keinginannya yang besar, ingin punya tempat tinggal sendiri, tiba-tiba ia teringat kisah kekuatan sedekah. Dia sering menonton televisi bagaimana sedekah itu bisa mendatangkan reziki dan memudahkan usaha yang sedang dijalani. Mengingat hal itu, dia pun sedang berdagang dan ingin sekali punya rumah, maka konsep sedekah ini pun ia coba terapkan.
Kepada sang istri, Pak Waluyo pun mulai merencanakan niatnya. “Mah, kitakan punya tabungan satu juta rupiah. Uang ini rencananya memang untuk kontrakan tahun depan, tapi bagaimana kalau kita sedekahkan saja kepada anak-anak yatim.”
Awalnya, Ibu Maskuroh protes.”Iya boleh-boleh saja, tetapi kenapa harus semuanya, Yah. Kita bisa sedekahkan sebagian saja,” protes sang istri kala itu. Pak Waluyo pun tidak mau goyah keyakinannya. “Iya sih Mah, tetapi sedekah yang baik itu kan tidak setengah-setengah,” jelas sang suami kembali, yang akhirnya menyadarkan dan membuka pikiran sang istri.
Pak Waluyo pun melanjutkan ucapannya, “Kita berdoa saja kepada Allah, Mah. Semoga apa yang kita sedekahkan ini diterima oleh-Nya. Keinginan kita tercapai dan usaha yang kita jalani lancar dan bisa berkembang masa depan Amien.”
Akhirnya Pak Waluyo pun menyedekahkan uang yang segitu-gitunya, yaitu satu juta rupiah kepada panti Asuhan atau yayasan anak yatim piatu. Sehari dua hari usai sedekah, tidak ada perubahan pada Warung Tegal-nya. Hasil usahanya tetap begitu saja. Begitu juga memasuki minggu kedua dan ketiga. Ibu Maskuroh mulai gelisah. Hatinya resah, sebab sebentar lagi uang kontrakan harus ia bayar. Kalau tidak, mau tinggal di mana dia, Apalagi sang pemilik kontrakan dikenal bawel dan rewel. Bayarnya tidak boleh telat, apalagi nunggak. Bisa-bisa ia dan suaminya diusir dari rumah kontrakan. Usahanya bisa kalang kabut nantinya.
Namun, tidak demikian dengan Pak Waluyo. Tampaknya ia lebih tegar dan sabar. Sedari awal dia memang jauh lebih yakin dibandingkan istrinya dalam hal sedekah. Persoalan kapan waktunya akan dibalas oleh Allah, itu sepenuhnya dia serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Tiba waktunya minggu ke empat sejak Pak Waluyo menyedekahkan uang yang satu juta rupiah. Tiba-tiba ada salah seorang utusan dari sebuah perusahaan besar datang ke warung Tegal (Warteg) . Entahlah, angin apa yang membuat utusan itu datang. Yang jelas, orang itu seketika menawarkan proyek besar kepada Pak Waluyo. Soal apa lagi, kalau bukan urusan makanan.
“Pak, bisa enggak pesankan makanan yang cukup banyak buat perusahaan kami?” tanya utusan itu. Tentu saja Pak Waluyo, menyanggupinya. Apalagi, selama ini dia telah terbiasa menerima pesanan untuk membuatkan makanan beberapa puluh bungkus. Maka seketika lelaki itupun menggeleng-gelengkan kepalanya, “Emangnya, Bapak mau pesan berapa?” tanya Pak Waluyo.
“Lima ratus bungkus. Sehari tiga kali. Sanggup tidak?” tanya sang utusan sekali lagi. Pak Waluyo terkejut mendengar pesanan yang begitu banyak tersebut. Tidak menyangka jika pesanan harus sebanyak itu. Jika ia menyanggupinya, maka sehari ia harus menyediakan makanan sekitar 500 x 3 = 1.500 bungkus. Dalam sebulan, berarti 1.500 x 30 = 45.000 bungkus.
Dalam keadaan masih terbengong-bengong, Pak Waluyo, dikagetkan kembali dengan pertanyaan serupa. “Bagaimana, sanggup tidak? Kalau ya, kita segera buat kontraknya dalam setahun?”
Entahlah, dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba saja Pak Waluyo akhirnya menyanggupinya. “Ya, saya siap Pak. Kapan pesanan itu mulai saya buat dan antar ke perusahaan, Bapak?” Tanya balik Pak Waluyo.
“Besok” Jawab sang utusan singkat. Setelah sepakat, akhirnya mereka pun membuat kontrak (perjannjian) di atas materai.
Sejak itu, Pak Waluyo dan istrinya pun terlihat super sibuk. Mereka belanja banyak di pasar dan mencari orang untuk membantu pekerjaannya di dapur dan membungkuskan makanan.
Sesuai pesanan, besok harinya Pak Waluyo dan istrinya sanggup memenuhi permintaan perusahaan. Hal itu terus berlangsung hingga sebulan dan setahun. Akhirnya, Pak Waluyo pun bisa membeli rumah yang diidam-idamkan dalam waktu yang singkat. Pak Waluyo hanya bisa memenuhinya dalam waktu hitungan bulan. Kita hitung saja penghasilan Pak Waluyo dari nilai kontrak ini, 45.000 X Rp. 5.000,- (harga perbungkus) = Rp. 225.000.000.
Dengan penghasilan mereka sebesar itu sebulan, maka apa pun bisa dipenuhi. Bahkan, beberapa bulan kemudian setelah mereka membeli rumah, mereka pun akhirnya membeli mobil. Sebuah anugerah yang benar-benar tidak pernah terpikirkan dalam pikiran dan benak mereka.
Kini, Pak Waluyo pun semakin yakin pada kekuatan sedekah. Kepada sang istri tercinta, Pak Waluyo pun kadang meledeknya, “Mah, kini Mamah sudah yakin’kan dengan kekuatan sedekah. Allah telah mendengarkan doa kita Mah. Ini sebuah berkah sedekah.” Sang istri pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum malu.
Kini, Pak Waluyo dan Ibu Maskuroh yang dulu kadang disepelekan karena berjualan di Warung Tegal (Warteg) berubah menjadi seorang jutawan yang dermawan. Ya, meski dia telah kaya, sifat kedermawannya untuk saling berbagi kepada orang yang tidak mampu dan anak-anak yatim tidak pernah berkurang, bahkan jumlahnya ditingkatkan. Semua ini Pak waluyo lakukan sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas segala kasih sayang-Nya yang tak terhingga.
Semoga kisah ini bisa memberikan pelajaran buat kita semua bahwa tidak ada yang salah dalam sedekah itu. Jika kita ikhlas melakukannya, maka Allah pasti akan membalasnya. Maka segeralah bersedekah !
Oleh Eef Khunaefi
loading...
0 Response to "Kisah Sedekah Penjual Warung Tegal Meraih Mimpinya"
Post a Comment